Rabu, 08 September 2010

SAATNYA MENJADI TANGAN DI ATAS

(Disampaikan pada Khutbah Iedul Fithri, 1 Syawal 1431 H/10 September 2010 di Halaman Masjid Fathul Haq, Moh.Toha, Bandung)

Alhamdulillah Laa Ilaaha Illallah Allaahu Akbar

Hadirin Jama’ah Shalat Iedul Fithri yang dimulyakan Allah SWT.
Saudaraku seiman, Puji dan syukur tak henti-hentinya kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pada hari ini, di pagi yang cerah ini, kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini untuk merayakan hari kemenangan umat Islam, Hari Raya Iedul Fihtri. Suatu hari yang sangat agung yang diperuntukan bagi umat Islam setelah melewati ujian dan latihan selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Betapa kita sebagai umat Islam, layak berbahagia pada hari ini, karena ini adalah hari raya kita. Ini adalah hari besar kita. Dan kita patut menghormati serta mengisi hari raya ini dengan raut muka yang berseri, penuh senyum, sebagai ekspresi kebahagiaan yang tak terhingga dari dasar hati kita yang paling dalam.

Namun kebahagiaan yang kita ekspresikan harus dimaknai lebih dalam lagi, agar kita tidak salah langkah dalam mengekspresikannya. Hari Raya Iedul Fithri ini, patut kita rayakan dengan aktivitas yang baik, yang menyenangkan dan membahagiakan orang lain, dan tentu saja yang dibolehkan menurut hukum syariat Islam . Oleh karena itu, berkumpulnya kita di tempat ini, mesti didorong oleh rasa keimanan, ketundukan, dan keikhlasan kepada Allah SWT. Tanpa dorongan seperti itu, maka perayaan kita menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.

Sebagai sebentuk ritual, baru saja kita selesai melaksanakan shalat Ied berjama’ah, dan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW kita lanjutkan dengan khutbah Iedul Fithri. Dan dalam khutbah Iedul Fithri ini, saya mengajak kepada kita semua untuk mengevaluasi dan mengintrospeksi amalan-amalan yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Yang kita jadikan sebagai pijakan untuk melangkah di bulan-bulan berikutnya

Saudaraku seiman, yang dimulyakan AllahSWT
Ulama besar, Yusuf Al-Qaradhawi, menyebut bulan Ramadhan ini sebagai “Al-madrosah al-mumayyizah” (sekolah yang istimewa). Sekolah adalah tempat menuntut ilmu, tempat meningkatkan level dan kualitas seseorang. Dan lulusan dari suatu sekolah akan mendapatkan gelar tertentu. Namun gelar itu hanyalah simbol, yang memerlukan pembuktian secara nyata. Pembuktiannya adalah perilaku lulusan tersebut setelah dia menyandang gelar. Apakah sesuai dengan glear yang disandangnya, atau tidak? Ramadhan adalah sarana latihan. Setelah berlatih, seseorang biasanya akan lebih ahli dalam bidang yang dilatihnya. Namun tetap saja, sekedar berlatih tentu tidak cukup. Perlu pembuktian pada pertandingan yang sesungguhnya. Jika dia memenangi pertandingan, maka latihannya berhasil, jika kalah, berarti ada sesuatu yang salah. Demikian juga, ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya yang dilakukan di Bulan suci Ramadhan adalah latihan kita untuk menghadapi pertandingan sesungguhnya, yaitu di bulan-bulan berikutnya, setelah Ramadhan. Jika setelah Ramadhan, kualitas dirinya sama dengan pada saat atau sebelum Ramadhan, maka ia termasuk orang yang merugi. Jika setelah Ramadhan kualitas dirinya lebih jelek dari pada di bulan Ramadhan, maka dia orang yang celaka. Alternatifnya Cuma satu: Pasca Ramadhan harus lebih baik daripada saat Ramadhan. Inilah tantangan yang sesungguhnya. Dan banyak orang yang keliru. Pada saat bulan Ramadhan amalan-amalan shaleh begitu meningkat, tapi pasca Ramadhan justru semuanya terlihat menurun. Ibarat atlet yang begitu bersemangat pada saat latihan, tapi justru menyerah kalah pada saat pertandingan yang sesungguhnya.

Saudaraku seiman yang disayangi Allah SWT
Salah satu problem besar umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah masalah kemiskinan. Di bulan suci Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan, kita melihat tingkat kepedulian sosial masyarakat muslim meningkat tajam. Namun diringi berbagai ironi yang menyesakkan dada. Selain meningkatnya semangat bersedekah, di bulan suci ini juga diwarnai meningkatnya jumlah pengemis yang secara massif menuju kota-kota besar. Selain itu, tingkat kejahatan juga meningkat, karena mungkin si pencuri pun ingin merayakan Hari Raya Iedul Fithri dengan kemeriahan, walaupun mungkin sebenarnya mereka tidak berpuasa. Inilah yang saya sebut ironi. Di saat Allah menyediakan bulan suci Ramadhan sebagai sarana peningkatan ketaqwaan, ternyata sisi gelapnya juga bermunculan, bulan Ramadhan menjadi sarana untuk mempertontonkan kemiskinan, menjual aqidah dan harga diri, serta menghalalkan segala cara, dengan alasan ingin merayakan Hari Raya Iedul Fithri.

Melihat realitas di atas, maka sangat layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang miskin. Kata miskin adalah berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari kata “sakana-yaskunu” yang berarti tinggal atau diam dengan tenang, nyaman, dan tentram. Kenapa orang yang kekurangan, dalam bahasa Arab disebut miskin yang berarti diam dengan tenang dan nyaman? Karena orang miskin adalah orang yang serba kekurangan, tapi merasa nyaman dengan kemiskinannya dan tidak mau mengubah dirinya dari kondisi yang serba kekurangan tersebut. Bahkan kemiskinannya bisa jadi senjata untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Lebih jauhnya lagi dia merasa bangga jadi orang miskin. Berbeda dengan orang fakir, yaitu orang yang serba kekurangan karena memang sudah tidak punya sumber daya sama sekali. Apakah dia jompo, sakit menahun, cacat permanen, dll. Atau termasuk fakir, para pejuang fii sabiilillah, yaitu mereka yang waktunya habis untuk berjuang dan berdakwah, sehingga tidak sempat berusaha mengurus dirinya. Namun orang lain menyangka ia serba kecukupan, karena ia tidak mau meminta-minta. Dalam hal ini, orang fakir jauh lebih terhormat daripada orang miskin.

Kenapa ada orang yang nyaman dalam kemiskinannya? Kenapa orang lebih suka menerima daripada memberi? Kenapa bangsa ini lebih suka menyerahkan pengelolaan kekayaan alamnya kepada bangsa lain, dan cukup puas dengan pembagian keuntungan yang sedikit? Itu semua adalah masalah mentalitas. Ya, mental orang miskin adalah identitas bangsa ini, karena diperlihatkan secara massif baik oleh pemimpinnya maupun oleh rakyatnya.

Ketika Islam mensyariatkan zakat, infaq, dan shadaqah, itu adalah sebuah upaya membangun mental kemandirian. Islam pun mengajarkan bahwa Tangan Di Atas lebih baik daripada Tangan Di Bawah. Bahwa orang yang kaya, sholeh, dan dermawan akan jauh lebih baik daripada orang sholeh yang miskin. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah memperhatikan seorang sahabat yang sepanjang hari dan malam berdiam diri dan berzikir di masjid. Lantas Rasulullah SAW bertanya: “Siapa yang memberi makan orang itu? Karena dia terus menerus berada di masjid, dan tidak berusaha? “. Ada salah seorang sahabat yang menjawab: “Dia diberi makan oleh saudaranya”. Lantas Rasulullah SAW bertanya lagi? “Dimana saudaranya?” Dijawab: ”Dia berada di pasar, berjualan, hanya pada saat Shalat berjama’ah, dia datang ke masjid”. Maka seketika itu Rasulullah mengeluarkan statemen: “saudaranya yang di pasar, jauh lebih baik daripada dia yang selalu berada di masjid dan tidak mau berusaha.”

Kisah di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi orang miskin, yang nyaman dalam kekurangan dan hanya mengharapkan bantuan dari orang lain. Bahkan kemiskinan itu merupakan kondisi yang tercela. Ada sebagian yang mengatakan bahwa kemiskinan itu akan terus ada dan bahkan orang miskin banyak jasanya, karena membuka kesempatan bagi orang kaya utuk berderma. Sepintas hal tersebut seolah benar, padahal, itu bukan berarti kaum muslimin harus jadi orang miskin agar menjadi sarana derma orang-orang kaya. Ada tidaknya orang miskin, derma (zakat, infaq, shadaqah), tetap disyariatkan. Di zaman Khaifah Umar bin Abdul Aziz, pegawai Baitulmaal sampai kesulitan mencari mustahiq zakat. Bukan karena saat itu tidak ada orang yang kekurangan, tapi pada saat itu, orang Islam tidak mau menjadi orang miskin yang menerima zakat, meskipun hidupnya kekurangan, mereka lebih suka memberi daripada menerima. Ini bukti bahwa kemiskinan bisa dihilangkan, karena kemiskinan adalah penyakit mental.

Menjadi Tangan Di Atas jauh lebih baik daripada menjadi Tangan Di Bawah. Memberi, lebih baik daripada menerima. Secara psikis, orang yang lebih banyak memberi akan jauh lebih bahagia daripada orang yang banyak menerima. Kebahagiaan yang dirasakannya akan terus mendorong dia untuk bekerja keras agar bisa terus memberi. Inilah jiwa orang-orang yang mandiri, orang yang berbahagia karena mampu mengelola sumberdaya yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan dia menggunakan sumber daya itu bukan untuk dinikmatinya sendiri, melainkan dibagi kepada orang lain dengan berbagai caranya. Mental kemandirian inilah yang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk segera bangun dari keterpurukannya.

Keinginan, semangat, dan mentalitas “Tangan Di Atas” lah yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini. Dan ini harus dimulai secara bersamaan. Mulai dari para pemimpin, pejabat, dan politisi. Juga karyawan, profesional, dan para pengusaha. Serta tidak terkecuali masyarakat kecil yang lemah. Predikat kaya dan msikin, bukanlah terkait dengan harta benda yang dimiliki, melainkan terkait dengan mentalitas dalam diri setiap orang. Seorang dengan mentalitas “Tangan Di Atas” adalah orang kaya raya walaupun harta bendanya tidak berlimpah ruah. Sebaliknya, seorang dengan mentalitas “Tangan Di Bawah” adalah orang miskin, walaupun bergelimang harta dan kemewahan.

Oleh karena itu, Menjadi tangan di atas, harus menjadi cita-cita bagi semua orang. Menjadi muzakki, munfiq, mutashoddiq, haruslah menjadi visi dari setiap generasi muslim. Dan saatnyalah sekarang kita mencanangkan diri untuk lebih banyak memberi, daripada menerima. Banyak orang begitu berbahagia ketika menerima pemberian orang lain, namun masih sedikit orang yang berbahagia pada saat ia memberi. Lantas, bagaimana caranya agar kita terbiasa memberi dan merasa bahagia ketika memberi?.
Ada beberapa latihan (deliberate practice) yang harus kita lakukan secara continue, agar kita mampu menjadi orang dengan mental Tangan Di Atas, dan bukannya Tangan Di Bawah.

Pertama, Masukan ke dalam pikiran kita, tanamkan ke alam pikiran bawah sadar kita, bahwa kita orang kaya. Tak peduli betapa terbatasnya harta yang kita miliki. Tak peduli betapa kekurangannnya hidup kita. Namun bersikaplah seolah kita orang yang kaya raya, terutama pada saat menghadapi orang yang meminta bantuan. Ketika ada orang yang meminta bantuan, bagi orang bermental dan berpikiran miskin, maka ia akan mencari seribu satu alasan untuk menolak memberikan bantuan, lantas dia berpura-pura tidak memiliki apapun, kalau perlu dia berpura-pura menjadi orang miskin, yang penting dia tidak akan membantu orang yang membutuhkan. Berbeda dengan orang yang berpikiran dan bermental kaya. Ketika ada aorang yang memebutuhkan bantuan, maka dia akan berbahagia, karena orang lain menganggapnya orang kaya, mamapu, dan serba kecukupan, dan ia anggap itu sebagai doa. Maka dia akan berbahagia ketika ada orang yang meminta bantuan kepadanya. Dan ia akan berupaya memberikan apapun yang bisa dia berikan, bahkan walaupun dengan keterbatasan yang ia miliki. Kaetika adalam pikiran bawah sadar kita sudah tertanam bahwa kita orang kaya, kita orang yang mampu bersedekah, maka Allah akan menarik kita kepada kondisi tersebut, dan Allah akan selalu memberikan kecukupan dan kemampuan bagi kita untuk bersedekah membatu orang yang kesulitan. (Law Of Attraction) أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي “Sesungguhnya Aku berdasarkan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku,dan aku bersamanya saat dia mengingat-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku dihadapan orang-orang maka Aku akan mengingatnya dihadapan mahkhluk-makhluk yang lebih baik dari mereka, jika mereka mendekati-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya sehasta, jika mendekati-Ku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa, dan barang siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HR Muslim) .
Hadits Qudsi di atas menenrangkan bahwa Allah akan membawa kita kepada posisi sebagaimana yang ada dalam pikiran kita. Kalau kita selalu berpikir sebagai orang kaya, maka Allah akan mengabulkannya. Dan kalau kita berpikir sebagai orang miskin, maka Allah pun akan membawa kita terus berada dalam kemiskinan dan akan merasa nyaman dalam kemiskinan tersebut.

Kedua, Selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh. Bagaimana kalau seandainya, kita sudah bekerja keras, namun tidak mendapatkan hasil apapun? Bahkan usaha kita, bukannya untung, malah rugi. Apa yang harus kita syukuri? Jawabannya, banyak sekali yang masih bisa kita syukuri setiap hari. Udara yang kita hirup dalam setiap hembusan nafas, hangatnya cahaya matahari yang menerpa tubuh kita, senyum manis isteri dan anak kita yang mengantar kita pergi dan menyambut pada saat kita pulang, hangatnya senyuman dan sapaan dari tetangga atau saudara kita, bertemu teman lama yang kita rindukan, serta banyak lagi nikmat yang bisa dan wajib kita syukuri setiap saat. Allah telah berjanji, bahwa bagi siapa saja, yang selalu mensyukuri nikmat-Nya, maka akan Allah tambahkan nikmatnya. Hanya orang berimanlah yang percaya akan janji Allah, dan itu membawanya menjadi orang yang pandai bersyukur.
Ketiga, Berkomitmenlah untuk selalu berbagi, apapun yang sebetulnya bisa kita berikan setiap saat. Apa saja yang bisa kita berikan setiap saat? Cinta. Cinta bukan hanya di mulut, dan bukan hanya di dalam hati. Tapi cinta harus diekspresikan alias dibuktikan dalam praktik kehidupan kita. Terutama cinta kita kepada keluarga. Berapa kali dalam sehari, Anda mengusap dan memeluk anak Anda? Dan mengucapkan bahwa Anda sayang anak Anda?. Siapapun bisa memberikan shadaqah ini, tanpa harus memiliki modal yang banyak. Tawa. Ini bukan hal sepele. Tertawa adalah ekspresi kebahagiaan. Maka, berbagilah kebagaiaan dengan orang lain, mulai dari orang terdekat Anda. JIka Anda selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum, itu berarti Anda telah berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Sebaliknya, jika anda sering tampil dengan wajah yang muram serta muka yang kusut, maka sejatinya anda telah membuat orang lain bersedih. Anda malah membagi kesulitan Anda terhadap orang lain. Rasulullah SAW mengatakan: تَبَسُّمُكَ لِأَخِيْكَ صَدَقَة ” Senyummu kepada saudaramu, adalah shadaqah” (H.R. Bukhari) . Pengetahuan. Siapapun Anda, pasti memiliki minimal satu keterampilan yang lebih dari orang lain. Ajarkanlah itu kepada orang lain. JIka Anda mengetahui ilmu tentang beternak ayam, ajarkanlah!. Jika anda bisa bahasa asing, ajarkanlah! Jika anda memahami tentang pertanian, ajarkanlah! Banyak bukti kongkritm enunjukan, bahwa orang yang sering membagi ilmunya secara gratis, akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada apa yang ia bagi, bahkan termasuk keuntungan finansial. Bagikan pengetahuan Anda, karena pengetahuan adaah pemberian/rizki dari yang Maha Kuasa. Hadiah. Biasakanlah untuk berbagi hadiah-hadiah kecil ketika Anda bertemu dengan teman, sahabat, atau handai tolan. Rasulullah SAW bersabda: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا “Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” (H.R. Bukhari)
Keempat, Selalu berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pemberian kita. Rata-rata berapa rupiah uang yang biasa Anda masukan ke dalam kencleng masjid setiap hari Jum’at? Jika Anda hanya memasukan Rp 1000, maka Maka tingkatkanlah jumlahnya, menjadi Rp 5000, misalnya. Kalau keinginan itu ditekadkan dengan kuat dari dasar hati, sambil terus berusaha dan berdoa, maka memasukkan uang Rp 5000 ke dalam kencleng masjid setiap hari Jum’at, bukan hal yang sulit lagi, bahkan bisa jadi, uang sebesar itu bisa kita sedekahkan setiap hari. Dan terus bertahap hingga akhirnya Anda mamu memberikan yang lebih banyak dari itu. Jika Anda hanya bisa memberikan recehan untuk bersedekah, maka yang akan Anda dapatkan pun, recehan pula. Demikian pula jika Anda bisa memberikan yang lebih besar dari itu, maka yang akan Anda dapatkan pun tentu akan jauh lebih besar.
Untuk memiliki mental kaya, dan menjauhkan diri dari mental miskin, kita bisa memulainya dari hal-hal yang kecil, dari hal-hal yang sederhana, seperti disebutkan di atas.

Saudaraku seiman yang dicintai Allah SWT.
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi orang miskin. Sebaliknya, Islam senantiasa mendorong umatnya untuk menjadi orang kaya yang mampu memberi, mampu berzakat, berinfaq, dan bershadaqah. Dunia kini membutuhkaan ribuan orang muslim yang shalih, cerdas, kuat, dan mandiri secara ekonomi. Bangsa kita juga demikian, terlalu banyak sumber daya alam yang diserahkan pengelolaannya kepada bangsa lain, dan kita hanya mendapatkan jatah pembagian yang sedikit. Hal ini disebabkan kelemahan dan kebodohan dari diri kita sendiri. Marilah kita bersama-sama menjadi muslim yang kuat المؤمن القوي خير و أحب إلى الله من المؤمن الضّعيف “Seorang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”
Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak pula yang akan kita terima, dan semakin besar pula cinta Allah kepada kita. Iedul Fithri kali ini, marilah kita jadikan sebaga momentum untuk menumbuhkan dan memperkuat kemandirian diri kita. Saatnya sekarang untuk berupaya selalu menjadi “Tangan Di Atas”, dan berupaya untuk tidak menjadi “Tangan Di Bawah”. Jadilah orang yang berbahagia ketika menerima pemberian dari Allah, dan berbahagia pulalah ketika mampu memberi dan berbagi kepada makhluk Allah.

Untuk memiliki mental sebagai tangan di atas, tidak cukup dengan berusaha. Harus dibarengi dengan do’a tulus kepada Sang Pengatur segala Urusan. Dan kitaakhiri Khutbah Iedul Fithri ini dengan berdo’a kepada Allah SWT:

Berilah kekuatan sekeras baja
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah kesabaran seluas angkasa
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Berilah kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Berilah perasaan selembut sutra
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini

Billaahittaufiq walhidayah
Wassa;aamu'alaikum wr.wb

2 komentar:

Budhi mengatakan...

Assalamu'alaikum, damang kang Ahmad?
Emut keneh? ana Budi ti Tasik.
Alhamdulillah, sae lah blog na, bermanfaat.
Hatur nuhun postinganana mudah2an janten jariah elmu anu manfaat.

Achmad Faisal mengatakan...

Wa'alaikum salam.
Emut keneh atuh kang. Aamiin sami-sami. Nuju sibuk muktamar nya? Punten ana teu tiasa hadir muktamar ayeuna mah, nuju seueur pamengan. Salam ka ikhwan2 di Tasik.