Kamis, 23 September 2010

NILAI SEBUAH KEBAIKAN (Adzan Rock'n Roll)

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Nabi SAW pernah menginterogasi Ibnu Ummi Maktum, yang jarang datang ke masjid. Ibnu Ummi Maktum menjelaskan, bahwa alasannya jarang datang ke masjid untuk shalat berjama'ah, dikarenakan kondisinya yang buta, dan tidak ada orang yang bersedia mengantarkannya untuk datang ke masjid setiap waktu shalat tiba. Lantas Rasulullah bertanya: "Apakah engkau bisa mendengar suara adzan yang dikumandangkan Bilal?" Ibnu Ummi Maktum pun menjawab: "Ya, saya bisa mendengarnya". "Kalau begitu, maka penuhilah panggilan Bilal itu!" Demikian perintah Rasulullah.

Sepintas kita akan menyangka bahwa Rasulullah SAW begitu tega dengan tetap menyuruh Ibnu Ummi Maktum untuk datang ke masjid ketika adzan berkumandang. Seolah Nabi SAW tidak menghiraukan alasan yang dikemukakan olehnya. Namun jika kita perhatikan cerita setelahnya, maka kita bisa melihat betapa hebatnya pola pendidikan Rasulullah SAW. Pada akhirnya, Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk menjadi Muadzin kedua setelah Bilal. Hal ini "memaksa" Ibnu Ummi Maktum untuk datang ke masjid lebih awal daripada jama'ah yang lainnya. Dan akhirnya Ibnu Ummi Maktum mampu datang ke masjid secara rutin dan datang lebih awal karena tugasnya sebagai muadzin.

Ya, sebuah pelajaran berharga dari Rasulullah SAW. Betapa tidak? Kalaulah Ibnu Ummi Maktum dibiarkan jarang datang ke masjid untuk shalat berjama'ah, maka amal apa yang akan dibawa olehnya ke akhirat kelak? Ibnu Ummi maktum seorang yang buta dan lemah. Untuk berperang/berjihad? tentu ia tidak akan mampu. Untuk berinfaq? Beliau termasuk kaum dhuafa. Maka, menjadi muadzin dan datang lebih awal ke masjid adalah satu amal yang bisa diandalkan untuk mengantarnya ke surga.

Amalnya memang terlihat kecil dan sederhana. Tapi memang itulah yang mampu dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum. Karena suatu amal dinilai bukan dari besar dan kecilnya, tapi disesuaikan dengan kemampuan setiap orang. Apalagi jika amalnya itu bisa bernilai ganda. Seperti halnya adzan Ibnu Ummi Maktum, bukan hanya pahala dari adzannya yang ia dapatkan, tapi juga pahala memanggil banyak orang datang ke masjid. Ini bisa menjadi bekal berharga bagi orang lemah seperti Ibnu Ummi Maktum.

Saya jadi teringat seorang kawan saya di masjid Al-Haq. Dia seorang pemuda, yang tidak bisa dikatakan rajin/banyak ibadah, bukan juga orang terpandang dan berprestasi, orang biasa lah. Penampilannya juga seperti layaknya anak muda, Rock'n Roll abis. Namun beliau selalu datang lebih awal ke masjid untuk shalat maghrib dan Isya berjama'ah. Ia datang lebih awal karena ingin adzan. Dengan celana jeans belel, T-shirt, dan jacket jeans lusuh, rambut sedikit panjang, dan wajah agak sangar (Pokoknya Rocking banget lah), dia melihat jadwal waktu shalat dan langsung menyambar mike. Luar biasanya, dia berteriak mengumandangkan Adzan dengan suara khas yang serak-serak basah, dengan nada/lagu yang berbeda dengan adzan yang biasa, bisa dikatakan sangat nge-rock. Dan ia mengumandangkan adzan dengan penuh penghayatan serta emosi yang mendalam. Itupun dilakukannya ketika mengumandangkan Iqomat.
Ya, karena keterbatasan yang dimilikinya. tidak banyak yang bisa dilakukan oleh kawan saya itu, namun mudah-mudahan upaya maksimalnya dalam mengumandangkan adzan,dengan gayanya yang khas dan penuh penghayatan, bisa menjadi bekalyang sangat berharga untuk masa depannyan di akhirat kelak.

So, bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk bertemu dengan Sang Maha Kuasa nanti? Lakukan apa yang bisa dilakukan, lakukan penuh keikhlasan, sekecil dan sesederhana apapun, yakinlah! Allah SWT akan menghargainya.

Wallaahu A'lam

Rabu, 08 September 2010

SAATNYA MENJADI TANGAN DI ATAS

(Disampaikan pada Khutbah Iedul Fithri, 1 Syawal 1431 H/10 September 2010 di Halaman Masjid Fathul Haq, Moh.Toha, Bandung)

Alhamdulillah Laa Ilaaha Illallah Allaahu Akbar

Hadirin Jama’ah Shalat Iedul Fithri yang dimulyakan Allah SWT.
Saudaraku seiman, Puji dan syukur tak henti-hentinya kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pada hari ini, di pagi yang cerah ini, kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini untuk merayakan hari kemenangan umat Islam, Hari Raya Iedul Fihtri. Suatu hari yang sangat agung yang diperuntukan bagi umat Islam setelah melewati ujian dan latihan selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Betapa kita sebagai umat Islam, layak berbahagia pada hari ini, karena ini adalah hari raya kita. Ini adalah hari besar kita. Dan kita patut menghormati serta mengisi hari raya ini dengan raut muka yang berseri, penuh senyum, sebagai ekspresi kebahagiaan yang tak terhingga dari dasar hati kita yang paling dalam.

Namun kebahagiaan yang kita ekspresikan harus dimaknai lebih dalam lagi, agar kita tidak salah langkah dalam mengekspresikannya. Hari Raya Iedul Fithri ini, patut kita rayakan dengan aktivitas yang baik, yang menyenangkan dan membahagiakan orang lain, dan tentu saja yang dibolehkan menurut hukum syariat Islam . Oleh karena itu, berkumpulnya kita di tempat ini, mesti didorong oleh rasa keimanan, ketundukan, dan keikhlasan kepada Allah SWT. Tanpa dorongan seperti itu, maka perayaan kita menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.

Sebagai sebentuk ritual, baru saja kita selesai melaksanakan shalat Ied berjama’ah, dan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW kita lanjutkan dengan khutbah Iedul Fithri. Dan dalam khutbah Iedul Fithri ini, saya mengajak kepada kita semua untuk mengevaluasi dan mengintrospeksi amalan-amalan yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Yang kita jadikan sebagai pijakan untuk melangkah di bulan-bulan berikutnya

Saudaraku seiman, yang dimulyakan AllahSWT
Ulama besar, Yusuf Al-Qaradhawi, menyebut bulan Ramadhan ini sebagai “Al-madrosah al-mumayyizah” (sekolah yang istimewa). Sekolah adalah tempat menuntut ilmu, tempat meningkatkan level dan kualitas seseorang. Dan lulusan dari suatu sekolah akan mendapatkan gelar tertentu. Namun gelar itu hanyalah simbol, yang memerlukan pembuktian secara nyata. Pembuktiannya adalah perilaku lulusan tersebut setelah dia menyandang gelar. Apakah sesuai dengan glear yang disandangnya, atau tidak? Ramadhan adalah sarana latihan. Setelah berlatih, seseorang biasanya akan lebih ahli dalam bidang yang dilatihnya. Namun tetap saja, sekedar berlatih tentu tidak cukup. Perlu pembuktian pada pertandingan yang sesungguhnya. Jika dia memenangi pertandingan, maka latihannya berhasil, jika kalah, berarti ada sesuatu yang salah. Demikian juga, ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya yang dilakukan di Bulan suci Ramadhan adalah latihan kita untuk menghadapi pertandingan sesungguhnya, yaitu di bulan-bulan berikutnya, setelah Ramadhan. Jika setelah Ramadhan, kualitas dirinya sama dengan pada saat atau sebelum Ramadhan, maka ia termasuk orang yang merugi. Jika setelah Ramadhan kualitas dirinya lebih jelek dari pada di bulan Ramadhan, maka dia orang yang celaka. Alternatifnya Cuma satu: Pasca Ramadhan harus lebih baik daripada saat Ramadhan. Inilah tantangan yang sesungguhnya. Dan banyak orang yang keliru. Pada saat bulan Ramadhan amalan-amalan shaleh begitu meningkat, tapi pasca Ramadhan justru semuanya terlihat menurun. Ibarat atlet yang begitu bersemangat pada saat latihan, tapi justru menyerah kalah pada saat pertandingan yang sesungguhnya.

Saudaraku seiman yang disayangi Allah SWT
Salah satu problem besar umat Islam, khususnya di Indonesia, adalah masalah kemiskinan. Di bulan suci Ramadhan yang baru saja kita tinggalkan, kita melihat tingkat kepedulian sosial masyarakat muslim meningkat tajam. Namun diringi berbagai ironi yang menyesakkan dada. Selain meningkatnya semangat bersedekah, di bulan suci ini juga diwarnai meningkatnya jumlah pengemis yang secara massif menuju kota-kota besar. Selain itu, tingkat kejahatan juga meningkat, karena mungkin si pencuri pun ingin merayakan Hari Raya Iedul Fithri dengan kemeriahan, walaupun mungkin sebenarnya mereka tidak berpuasa. Inilah yang saya sebut ironi. Di saat Allah menyediakan bulan suci Ramadhan sebagai sarana peningkatan ketaqwaan, ternyata sisi gelapnya juga bermunculan, bulan Ramadhan menjadi sarana untuk mempertontonkan kemiskinan, menjual aqidah dan harga diri, serta menghalalkan segala cara, dengan alasan ingin merayakan Hari Raya Iedul Fithri.

Melihat realitas di atas, maka sangat layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang miskin. Kata miskin adalah berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari kata “sakana-yaskunu” yang berarti tinggal atau diam dengan tenang, nyaman, dan tentram. Kenapa orang yang kekurangan, dalam bahasa Arab disebut miskin yang berarti diam dengan tenang dan nyaman? Karena orang miskin adalah orang yang serba kekurangan, tapi merasa nyaman dengan kemiskinannya dan tidak mau mengubah dirinya dari kondisi yang serba kekurangan tersebut. Bahkan kemiskinannya bisa jadi senjata untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Lebih jauhnya lagi dia merasa bangga jadi orang miskin. Berbeda dengan orang fakir, yaitu orang yang serba kekurangan karena memang sudah tidak punya sumber daya sama sekali. Apakah dia jompo, sakit menahun, cacat permanen, dll. Atau termasuk fakir, para pejuang fii sabiilillah, yaitu mereka yang waktunya habis untuk berjuang dan berdakwah, sehingga tidak sempat berusaha mengurus dirinya. Namun orang lain menyangka ia serba kecukupan, karena ia tidak mau meminta-minta. Dalam hal ini, orang fakir jauh lebih terhormat daripada orang miskin.

Kenapa ada orang yang nyaman dalam kemiskinannya? Kenapa orang lebih suka menerima daripada memberi? Kenapa bangsa ini lebih suka menyerahkan pengelolaan kekayaan alamnya kepada bangsa lain, dan cukup puas dengan pembagian keuntungan yang sedikit? Itu semua adalah masalah mentalitas. Ya, mental orang miskin adalah identitas bangsa ini, karena diperlihatkan secara massif baik oleh pemimpinnya maupun oleh rakyatnya.

Ketika Islam mensyariatkan zakat, infaq, dan shadaqah, itu adalah sebuah upaya membangun mental kemandirian. Islam pun mengajarkan bahwa Tangan Di Atas lebih baik daripada Tangan Di Bawah. Bahwa orang yang kaya, sholeh, dan dermawan akan jauh lebih baik daripada orang sholeh yang miskin. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah memperhatikan seorang sahabat yang sepanjang hari dan malam berdiam diri dan berzikir di masjid. Lantas Rasulullah SAW bertanya: “Siapa yang memberi makan orang itu? Karena dia terus menerus berada di masjid, dan tidak berusaha? “. Ada salah seorang sahabat yang menjawab: “Dia diberi makan oleh saudaranya”. Lantas Rasulullah SAW bertanya lagi? “Dimana saudaranya?” Dijawab: ”Dia berada di pasar, berjualan, hanya pada saat Shalat berjama’ah, dia datang ke masjid”. Maka seketika itu Rasulullah mengeluarkan statemen: “saudaranya yang di pasar, jauh lebih baik daripada dia yang selalu berada di masjid dan tidak mau berusaha.”

Kisah di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi orang miskin, yang nyaman dalam kekurangan dan hanya mengharapkan bantuan dari orang lain. Bahkan kemiskinan itu merupakan kondisi yang tercela. Ada sebagian yang mengatakan bahwa kemiskinan itu akan terus ada dan bahkan orang miskin banyak jasanya, karena membuka kesempatan bagi orang kaya utuk berderma. Sepintas hal tersebut seolah benar, padahal, itu bukan berarti kaum muslimin harus jadi orang miskin agar menjadi sarana derma orang-orang kaya. Ada tidaknya orang miskin, derma (zakat, infaq, shadaqah), tetap disyariatkan. Di zaman Khaifah Umar bin Abdul Aziz, pegawai Baitulmaal sampai kesulitan mencari mustahiq zakat. Bukan karena saat itu tidak ada orang yang kekurangan, tapi pada saat itu, orang Islam tidak mau menjadi orang miskin yang menerima zakat, meskipun hidupnya kekurangan, mereka lebih suka memberi daripada menerima. Ini bukti bahwa kemiskinan bisa dihilangkan, karena kemiskinan adalah penyakit mental.

Menjadi Tangan Di Atas jauh lebih baik daripada menjadi Tangan Di Bawah. Memberi, lebih baik daripada menerima. Secara psikis, orang yang lebih banyak memberi akan jauh lebih bahagia daripada orang yang banyak menerima. Kebahagiaan yang dirasakannya akan terus mendorong dia untuk bekerja keras agar bisa terus memberi. Inilah jiwa orang-orang yang mandiri, orang yang berbahagia karena mampu mengelola sumberdaya yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan dia menggunakan sumber daya itu bukan untuk dinikmatinya sendiri, melainkan dibagi kepada orang lain dengan berbagai caranya. Mental kemandirian inilah yang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk segera bangun dari keterpurukannya.

Keinginan, semangat, dan mentalitas “Tangan Di Atas” lah yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini. Dan ini harus dimulai secara bersamaan. Mulai dari para pemimpin, pejabat, dan politisi. Juga karyawan, profesional, dan para pengusaha. Serta tidak terkecuali masyarakat kecil yang lemah. Predikat kaya dan msikin, bukanlah terkait dengan harta benda yang dimiliki, melainkan terkait dengan mentalitas dalam diri setiap orang. Seorang dengan mentalitas “Tangan Di Atas” adalah orang kaya raya walaupun harta bendanya tidak berlimpah ruah. Sebaliknya, seorang dengan mentalitas “Tangan Di Bawah” adalah orang miskin, walaupun bergelimang harta dan kemewahan.

Oleh karena itu, Menjadi tangan di atas, harus menjadi cita-cita bagi semua orang. Menjadi muzakki, munfiq, mutashoddiq, haruslah menjadi visi dari setiap generasi muslim. Dan saatnyalah sekarang kita mencanangkan diri untuk lebih banyak memberi, daripada menerima. Banyak orang begitu berbahagia ketika menerima pemberian orang lain, namun masih sedikit orang yang berbahagia pada saat ia memberi. Lantas, bagaimana caranya agar kita terbiasa memberi dan merasa bahagia ketika memberi?.
Ada beberapa latihan (deliberate practice) yang harus kita lakukan secara continue, agar kita mampu menjadi orang dengan mental Tangan Di Atas, dan bukannya Tangan Di Bawah.

Pertama, Masukan ke dalam pikiran kita, tanamkan ke alam pikiran bawah sadar kita, bahwa kita orang kaya. Tak peduli betapa terbatasnya harta yang kita miliki. Tak peduli betapa kekurangannnya hidup kita. Namun bersikaplah seolah kita orang yang kaya raya, terutama pada saat menghadapi orang yang meminta bantuan. Ketika ada orang yang meminta bantuan, bagi orang bermental dan berpikiran miskin, maka ia akan mencari seribu satu alasan untuk menolak memberikan bantuan, lantas dia berpura-pura tidak memiliki apapun, kalau perlu dia berpura-pura menjadi orang miskin, yang penting dia tidak akan membantu orang yang membutuhkan. Berbeda dengan orang yang berpikiran dan bermental kaya. Ketika ada aorang yang memebutuhkan bantuan, maka dia akan berbahagia, karena orang lain menganggapnya orang kaya, mamapu, dan serba kecukupan, dan ia anggap itu sebagai doa. Maka dia akan berbahagia ketika ada orang yang meminta bantuan kepadanya. Dan ia akan berupaya memberikan apapun yang bisa dia berikan, bahkan walaupun dengan keterbatasan yang ia miliki. Kaetika adalam pikiran bawah sadar kita sudah tertanam bahwa kita orang kaya, kita orang yang mampu bersedekah, maka Allah akan menarik kita kepada kondisi tersebut, dan Allah akan selalu memberikan kecukupan dan kemampuan bagi kita untuk bersedekah membatu orang yang kesulitan. (Law Of Attraction) أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي “Sesungguhnya Aku berdasarkan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku,dan aku bersamanya saat dia mengingat-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku dihadapan orang-orang maka Aku akan mengingatnya dihadapan mahkhluk-makhluk yang lebih baik dari mereka, jika mereka mendekati-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya sehasta, jika mendekati-Ku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa, dan barang siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HR Muslim) .
Hadits Qudsi di atas menenrangkan bahwa Allah akan membawa kita kepada posisi sebagaimana yang ada dalam pikiran kita. Kalau kita selalu berpikir sebagai orang kaya, maka Allah akan mengabulkannya. Dan kalau kita berpikir sebagai orang miskin, maka Allah pun akan membawa kita terus berada dalam kemiskinan dan akan merasa nyaman dalam kemiskinan tersebut.

Kedua, Selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh. Bagaimana kalau seandainya, kita sudah bekerja keras, namun tidak mendapatkan hasil apapun? Bahkan usaha kita, bukannya untung, malah rugi. Apa yang harus kita syukuri? Jawabannya, banyak sekali yang masih bisa kita syukuri setiap hari. Udara yang kita hirup dalam setiap hembusan nafas, hangatnya cahaya matahari yang menerpa tubuh kita, senyum manis isteri dan anak kita yang mengantar kita pergi dan menyambut pada saat kita pulang, hangatnya senyuman dan sapaan dari tetangga atau saudara kita, bertemu teman lama yang kita rindukan, serta banyak lagi nikmat yang bisa dan wajib kita syukuri setiap saat. Allah telah berjanji, bahwa bagi siapa saja, yang selalu mensyukuri nikmat-Nya, maka akan Allah tambahkan nikmatnya. Hanya orang berimanlah yang percaya akan janji Allah, dan itu membawanya menjadi orang yang pandai bersyukur.
Ketiga, Berkomitmenlah untuk selalu berbagi, apapun yang sebetulnya bisa kita berikan setiap saat. Apa saja yang bisa kita berikan setiap saat? Cinta. Cinta bukan hanya di mulut, dan bukan hanya di dalam hati. Tapi cinta harus diekspresikan alias dibuktikan dalam praktik kehidupan kita. Terutama cinta kita kepada keluarga. Berapa kali dalam sehari, Anda mengusap dan memeluk anak Anda? Dan mengucapkan bahwa Anda sayang anak Anda?. Siapapun bisa memberikan shadaqah ini, tanpa harus memiliki modal yang banyak. Tawa. Ini bukan hal sepele. Tertawa adalah ekspresi kebahagiaan. Maka, berbagilah kebagaiaan dengan orang lain, mulai dari orang terdekat Anda. JIka Anda selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum, itu berarti Anda telah berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Sebaliknya, jika anda sering tampil dengan wajah yang muram serta muka yang kusut, maka sejatinya anda telah membuat orang lain bersedih. Anda malah membagi kesulitan Anda terhadap orang lain. Rasulullah SAW mengatakan: تَبَسُّمُكَ لِأَخِيْكَ صَدَقَة ” Senyummu kepada saudaramu, adalah shadaqah” (H.R. Bukhari) . Pengetahuan. Siapapun Anda, pasti memiliki minimal satu keterampilan yang lebih dari orang lain. Ajarkanlah itu kepada orang lain. JIka Anda mengetahui ilmu tentang beternak ayam, ajarkanlah!. Jika anda bisa bahasa asing, ajarkanlah! Jika anda memahami tentang pertanian, ajarkanlah! Banyak bukti kongkritm enunjukan, bahwa orang yang sering membagi ilmunya secara gratis, akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada apa yang ia bagi, bahkan termasuk keuntungan finansial. Bagikan pengetahuan Anda, karena pengetahuan adaah pemberian/rizki dari yang Maha Kuasa. Hadiah. Biasakanlah untuk berbagi hadiah-hadiah kecil ketika Anda bertemu dengan teman, sahabat, atau handai tolan. Rasulullah SAW bersabda: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا “Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” (H.R. Bukhari)
Keempat, Selalu berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pemberian kita. Rata-rata berapa rupiah uang yang biasa Anda masukan ke dalam kencleng masjid setiap hari Jum’at? Jika Anda hanya memasukan Rp 1000, maka Maka tingkatkanlah jumlahnya, menjadi Rp 5000, misalnya. Kalau keinginan itu ditekadkan dengan kuat dari dasar hati, sambil terus berusaha dan berdoa, maka memasukkan uang Rp 5000 ke dalam kencleng masjid setiap hari Jum’at, bukan hal yang sulit lagi, bahkan bisa jadi, uang sebesar itu bisa kita sedekahkan setiap hari. Dan terus bertahap hingga akhirnya Anda mamu memberikan yang lebih banyak dari itu. Jika Anda hanya bisa memberikan recehan untuk bersedekah, maka yang akan Anda dapatkan pun, recehan pula. Demikian pula jika Anda bisa memberikan yang lebih besar dari itu, maka yang akan Anda dapatkan pun tentu akan jauh lebih besar.
Untuk memiliki mental kaya, dan menjauhkan diri dari mental miskin, kita bisa memulainya dari hal-hal yang kecil, dari hal-hal yang sederhana, seperti disebutkan di atas.

Saudaraku seiman yang dicintai Allah SWT.
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi orang miskin. Sebaliknya, Islam senantiasa mendorong umatnya untuk menjadi orang kaya yang mampu memberi, mampu berzakat, berinfaq, dan bershadaqah. Dunia kini membutuhkaan ribuan orang muslim yang shalih, cerdas, kuat, dan mandiri secara ekonomi. Bangsa kita juga demikian, terlalu banyak sumber daya alam yang diserahkan pengelolaannya kepada bangsa lain, dan kita hanya mendapatkan jatah pembagian yang sedikit. Hal ini disebabkan kelemahan dan kebodohan dari diri kita sendiri. Marilah kita bersama-sama menjadi muslim yang kuat المؤمن القوي خير و أحب إلى الله من المؤمن الضّعيف “Seorang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”
Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak pula yang akan kita terima, dan semakin besar pula cinta Allah kepada kita. Iedul Fithri kali ini, marilah kita jadikan sebaga momentum untuk menumbuhkan dan memperkuat kemandirian diri kita. Saatnya sekarang untuk berupaya selalu menjadi “Tangan Di Atas”, dan berupaya untuk tidak menjadi “Tangan Di Bawah”. Jadilah orang yang berbahagia ketika menerima pemberian dari Allah, dan berbahagia pulalah ketika mampu memberi dan berbagi kepada makhluk Allah.

Untuk memiliki mental sebagai tangan di atas, tidak cukup dengan berusaha. Harus dibarengi dengan do’a tulus kepada Sang Pengatur segala Urusan. Dan kitaakhiri Khutbah Iedul Fithri ini dengan berdo’a kepada Allah SWT:

Berilah kekuatan sekeras baja
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah kesabaran seluas angkasa
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Berilah kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Berilah perasaan selembut sutra
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini

Billaahittaufiq walhidayah
Wassa;aamu'alaikum wr.wb

Selasa, 03 Agustus 2010

Belajar Kejujuran


Saat pelatihan Reframe Your Life beberapa waktu lalu, saya terkesan dengan seorang peserta. Namanya Dedi Haryadi. Beliau seorang aktivis dan direktur salah satu LSM terkenal di Jawa Barat. Sepak terjangnya dalam mengkritisi pemerintah sudah tidak diragukan lagi.
Sebelum pelatihan dimulai, di terlihat sangat kecewa dengan pelayanan yang diberikan panitia. Bagaimana tidak? Pada saat dia datang ke tempat acara, belum ada panitia satu orang pun. Dan ketika acara dimulai beliau sudah pasti memiliki pikiran negatif tentang pelatihan ini. Iya lah, aktivis LSM, biasa mengkritik pemerintah, kini harus mengikuti pelatihan dengan pembicara yang bekum terkenal. Bahkan dia menelepon isterinya, bahwa dia akan pulang nanti sore, tidak akan mengikuti acara sampai selesai.  Namun yang terjadi kemudian, justru beliau terlihat sebagai peserta yang paling serius mengikuti materi yang disampaikan pembicara. Bahkan ketika akhir acara molor, ia tidak bergeming, tetap mengikuti hingga selesai. Bahkan hingga akhirnya beliau terpilih sbagai peserta terbaik.
Apa kesan mendalam yang saya dapatkan dari kejadian di atas? KEJUJURAN. Ya, kejujuran lah yang  membuat seorang aktivis terkenal, berani mengubah sikapnya dalam seketika, dari negatif menjadi positif. Setelah dengan obyektif dia menilai materi yang didapatkannya positif dan sesuai dengan kebutuhannya, tanpa harus malu, beliau mengakuinya dengan jujur.
Kejujuran itu jugalah yang mengakibatkan Umar Bin Khaththab masuk Islam dan Abu Jahal tidak masuk Islam. Padahal keduanya sama-sama mendengarkan bacaan Al-Quran. Bahkan Abu Jahal sering mengendap-endap di samping rumah Rasulullah setiap tengah malam, hanya untuk mendengarkan bacaan Al-Quran dan dia sangat menikmatinya. Tapi kenapa hanya Umar yang masuk Islam? Karena Umar, bahkan sebelum masuk Islam, punya karakter jujur dan tegas. Hitam ia bilang hitam, putih dia bilang putih. Berbeda dengan Abu Jahal, yang memiliki karakter pengecut, dia senang berada di wilayah abu-abu, dia tidak berani mengakui kebenaran Al-Quran hanya karena takut kehilangan apa yang sudah dia genggam selama ini, mulai dari  harta, jabatan, kekuasaan, pengaruh, dll. Ya, persis karakter politisi Indonesia saat ini.
Jujur dalah mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan. Kejujuran juga bisa diartikan serasinya perkataan dengan perbuatan. Jujur menjadi suatu hal yang sulit dicai saat ini. Orang jujur menjadi orang yang sangat langka. Mulai dari pejabat yang korupsi, pegawai yang tidak jujur, pengusaha yang berbohong,  artis yang senantiasa bertopeng tampil di depan masyarakat, hingga masyarakat yang harus kehilangan keberanian untuk berkata jujur. Kejujuran adalah barang mahal bahkan bisa diperjual belikan.
Jujur juga bisa bermakna pembuktian. Sesorang yang tidak bisa membuktikan kebenaran ucapannya bisa dikatakan tidak jujur. Itulah makanya, memberi dalam ajaran Islam diistilahkan dengan shadaqah yang berarti benar atau jujur. Hal ini karena memberi merupakan pembuktian kebenaran atau kejujuran iman seseorang.
Untuk jujur memang dibutuhkan keberanian. Keberanian untuk “menelan ludah”nya sendiri . Keberanian untuk berubah pandangan dari negatif menjadi positif tanpa memperhitungkan pendapat dan komentar orang lain. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berani dan berpikiran positif.
So… Reframe Our Life… Mari beranikan diri  untuk berkata jujur, walau mungkin sulit. Itulah perjuangan.  “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”(WS Rendra)

Senin, 12 Juli 2010

UNTUK PARA PASANGAN SEJATI

(Catatan ini dibuat atas permintaan seorang sahabat yang tengah mereview usia pernikahannya)

Pertama, Pernikahan adalah Ibadah. "Nikah itu sunnahku, maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku". Begitu Rasul kita bersaba. Berhubungan suami istri, baik secara fisik maupun non-fisik, akan bernilai ibadah. Hal ini dikarenakan jika hubungan itu tidak dilandasi suatu ikatan pernikahan, maka kan menjadi dosa. Maka, malam pertamanya adalah ibadah dan begitu juga malam berikutnya. Oleh karena itu, jangan lupa untuk selelu berdoa sebelum melakukan hubungan halal antara suami-istri, agar syetan tidak ikut masuk ke wilayah privat kalian. Karena malam pertama adalah ibadah, maka dalam melakukannya pun tidak usah ada rekaman video, apalagi sampai disebar luaskan, nanti bisa-bisa kalian jadi "mirip" artis...

Kedua, Pernikahan adalah kasih sayang/rahmat. Oleh karena itu, landasilah komunikasi dan interaksi antara suami-istri dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Tidak boleh ada tangan yang melayang ke wajah pasangannya. Usahakan juga tidak ada kata-kata kasar, cacian, dan makian terhadap pasangan kalian.Demikian pula ketika nanti Allah menganugerahkan anak, maka didiklah dan perlakukanlah anak-anak dengan penuh kelembutan, jangan besarkan anak kalian dengan kekerasan, penghinaan, perendahan, dan perilaku kasar lainnya. Islam saat ini membutuhkan generas-generasi penerus yang cerdas, percaya diri, berani, dan berkualitas. Generasi seperti itu tidak akan bisa dilahirkan dengan kekerasan, cac ian, dan hinaan. Allah SWT Maha Rahman-Rahim, maka kita bisa memancarkan sinar Rahman-Rahim nya Allah dengan cara bersikap dan berperilaku penuh kasih-sayang. Maka dengan demikian kita bisa berperan sebagai gardu penyebar cahaya Allah SWT.

Ketiga , Pernikahan adalah Kebahagiaan. Tentu saja kalian berbahagia pada hari yang bersejarah ini, karena kalian saling mencintai hingga memutuskan untuk menikah. Namun sayang, banyak pasangan yang bisa menunjukan kebahagiaannya hanya pada hari pernikahan dan beberapa bulan setelahnya. Berikutnya? Rona kesedihan, kecemasan, pertengkaran, mulai mewarnai pernikahannya. Tidak tampak lagi kebahagiaan dalam raut wajah mereka. Yang ada hanyalah raut wajah kusut yang dipenuhi penuh beban berat kehidupan. Lantas, bagaimanakah pasangan yang berbahagia itu?

Minimal ada tiga indikasi pasangan yang berbahagia dalam menjalani kehidupan pernikahannya:
1) Terhadap masa lalunya, tidak pernah disesali secara berlebihan. Yang sudah terjadi hanya menjadi pelajaran bagi kedepannya. Kesalahan yang dilakukan pasangannya tidaklah diungkit-ungkit terus-menerus. Sebuah kata maaf yang tulus sudahlah cukup untuk menyelsaikan masalah diantara pasangan. Ada dua hal yang mereka lakukan terhadap masa lalunya. Istighfar dan Bersyukur. Istighfar agar kesalahannya tidak diulangi lagi dan diampuni oleh Yang Maha Kuasa. Bersyukur, karena di setiap satu kesulitan, minimal ada dua kemudahan. Dan dengan bersyukur masing-masing pasangan akan kembali mengingat masa indah yang pernah mereka jalani berdua.
2) Terhadap masa sekarang yang sedang dijalani, dilewatinya dengan penuh semangat dan antusiasme tinggi. Tantangan kehidupan yang datang silih berganti adalah tangga-tangga yang harus dilewati dengan penuh antusias agar kalian segera mencapai puncak impian yang telah disemai bersama. Bahagia atau tidaknya suatu pasangan bisa terlihat dari bagaimana mereka menjalani hari-harinya. Bersemangat, atau bermalas-malasan? Antusias atau acuh tak acuh? ... Coba tanyakan pada hati nurani masing-masing.
3) Terhadap masa depan yang penuh ketidak-pastian, optimisme selalu dihadirkan. Mereka begitu percaya diri bahwa mimpinya akan terwujud dan mereka sudah bersikap seolah-olah mimpinya sudah benar-benar terwujud. Mereka membiarkan Alam bawah sadar membawanya kepada situasi yang betul-betul meraka inginkan dan mambahagiakan mereka. Walaupun belum sukses, mereka sudah bersikap layaknya orang-orang sukses.

Begitulah hendaknya para pasangan menjalankan pernikahan dan rumah tangganya, dilandasi dengan nilai-nilai ibadah dan penghambaan diri terhadap Allah SWT, dihiasi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, serta dijalani dengan penuh kebahagiaan.

Selasa, 08 Juni 2010

Yahudi dalam Al-Quran

Sejarah Singkat tentang Yahudi
Yahudi adalah agama samawi (yang berdasarkan wahyu dari Allah), agama ini ada sekitar 2000 tahun sebelaum agama Islam turun. Kitab sucinya adalah At-Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata yahudi, diantaranya yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa kata yahûd diambil dari kata hâda yahûdu yang berarti raja’a yarji’u (kembali), makna ini dikuatkan dengan Al-Quran, Surat Al A’raf, ayat 156, Innâ hudnâ ilaîk, artinya sesunggguhnya aku (Musa) telah kembali kepadamu. Ayat ini menjelaskan bahwa kedatangan Nabi Musa As kepada kaumnya untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Pada awalnya mereka pengikut Nabi Musa As, mereka menjadi pengikut yang baik, karena mengikuti ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Nabi Musa As. Namun, setelah Nabi Musa meninggal mereka banyak melakukan tahrîf/mengubah isi At-Taurat dan banyak melakukan pelanggaran pada ajaran-ajaran mereka.

Pelanggaran Yahudi dalam Akidah

Pelanggaran kaum Yahudi pada aspek akidah, dilakukan dalam bentuk menyelewengkan ajaran yang telah mereka dapatkan dari Nabi Musa as. Dalam Al-Quran, surat al-Taubah, 30, dijelaskan
“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah. Dan orang-orang Nashrani berkata: Al-Masih itu putera Allah. Demikian itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.Mereka dilaknati Allah; Bagaimana mereka sampai berpaling?” (Q.S. At-Taubah: 30)

Dalam tafsir Al Marâghi dijelaskan bahwa ‘Uzair adalah seorang pendeta (kâhin) Yahudi, ia hidup sekitar 457 SM. Menurut kepercayaan orang-orang Yahudi ‘Uzair adalah orang yang telah mengumpulkan kembali wahyu-wahyu Allah di kitab At Taurat yang sudah hilang sebelum masa Nabi Sulaiman As. Sehingga segala sumber yang yang dijadikan rujukan utama adalah yang berasal dari ‘Uzair, karena menurut kaum Yahudi waktu itu ‘Uzair adalah satu-satunya sosok yang paling diagungkan, maka sebagian mereka akhirnya menisbatkan ‘uzair sebagai anak Allah.

Hal ini menunjukan penyelewengan yang sangat sesat dari bangsa Yahudi, mereka menganggap orang yang mulia diantara mereka sebagai putera Allah. Padahal jelas Allah tidak beranak dan diperanakkan

Keburukan Yahudi dalam Aspek Sosial
Ada satu topik yang diangkat dalam QS 3:75:
"Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui".

Allah telah menjelaskan sikap mereka yang sulit untuk bisa dipercaya, sebagaimana sifat orang munafik yang suka berbohong, khianat, dan ingkar janji. Selain itu mereka juga suka meremehkan kaum lain, seperti sikap Yahudi kepada bagsa Arab. Pendapat ini diambil dari penafsiran yang menjelaskan maksud kata al-ummiyyîn adalah orang-orang arab.

Dalam Q.S. 5: 64 yang disampaikan di atas, juga terlihat kebiasaan bangsa Yahudi selalu melakukan kerusakan di muka bumi. Dalam istilah Al-Quran, mereka yas’auna an yufsiduu fil-ardhi. Kata yas’auna, yang berupa fi’il Mudhari’dalam ilmu balaghah penggunaan kalimat yang berbentuk mudlari’ memiliki arti istimrâr (terus menerus/berkelanjutan). Orang-orang Yahudi termasuk golongan yang suka membangkang perintah Allah. Perintah Allah saja dibangkang, apalagi ajakan dari sesame manusia, baik berupa resolusi, ultimatum, dsb. Tidak akan diperhatikan oleh mereka. .
Sikap Keras Yahudi pada Umat Islam

Ketika kita kembali mengingat sejarah orang-orang Yahudi yang suka membantah ajakan Nabi Muhammad Saw menuju jalan yang benar, maka kita bisa melihat betapa angkuh dan keras hati mereka. Dalam QS 5:82:
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri".
Dalam Tafsir Al Alûsi dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi disifati oleh Allah sebagai asyaddannâs, karena kufur mereka yang sudah sangat berlebihan, serta kebiasaan mereka berbohong dan mengikuti hawa nafsu. Bahkan dikatakan juga bahwa dalam pandangan mereka wajib memerangi orang-orang yang kontroversi dengan keinginan mereka. Selain orang Yahudi juga orang-orang musyrik yang menjadi musuh yang sangat keras bagi umat Islam. Namun, dalam ayat ini orang-orang Yahudi lebih didahulukan (disebut terlebih dahulu) dari pada orang-orang musyrik, kenapa? Masih menurut Al Imam Al Alûsi dalam tafsirnya, orang-orang Yahudi disebut terlebih dahulu karena kebiasaan mereka yang lebih suka memusuhi dulu/mencari masalah, dalam pendapat lain dikatakan karena sifat kejelekannya lebih banyak dari pada yang lain.

Sejarah juga telah mencatat, bahwa hampir seluruh perjanjian yang dibuat antara mereka dan Rasulullah saw, selalu mereka khianati. Karena itu, tidaklah mengherankan jika sekarang pun mereka melakukan hal yang sama. Mengkhianati hampir seluruh perjanjian damai dengan bangsa Palestina, bahkan dengan congkaknya mereka pun tidak mau tunduk kepada resolusi-resolusi yang telah dihasilkan Dewan Keamanan PBB tentang perdamaian Timur Tengah.

Demikianlah karakteristik bangsa Yahudi. Mudah-mudahan sepak terjang mereka segera dihentikan Allah SWT. Aamiin.

Selasa, 18 Mei 2010

PILIH BERUBAH ATAU MATI.

”Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain), dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah [94]: 7-8)

Bergerak adalah suatu hal yang alamiah dan naluriah bagi seorang manusia yang masih bernyawa. Ketika seseorang behenti bergerak, maka pada hakikatnya dia telah mati. Secara fisik, orang yang selalu menggerakkan badannya akan jauh lebih sehat daripada orang yang lebih sedikit menggerakkan badannya. Secara psikis, orang yang seringkali berdiam diri merenungi nasib dan kesalahannya, akan lebih mudah terserang penyakit stress. Air yang bergerak dan mengalir akan memiliki kekuatan yang cukup besar dibandingkan air yang diam, yang hanya akan menjadi sarang serangga penyakit atau menyebabkan lantai menjadi licin.
Al-Quran banyak memberikan motivasi bagi kita, bahwa hanya orang yang mengerti/berakal/berfikir yang akan mampu mengambil pelajaran dari alam raya ini.
“Sungguh! Pada penciptaan langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada pelayaran kapal-kapal di lautan dengan segala yang menguntungkan manusia, pada hujan yang diturunkan Allah dari langit serta dihidupkan-Nya bumi setelah mati, pada binatang-binatang dari segala jenis yang ditebarkan-Nya di seluruh bumi ini; pada perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh semua itu tanda-tanda bagi manusia yang mengerti.” (Q.S. Al-Baqoroh:164)
Ada satu hal yang sangat kentara dari fenomena alam yang sering kita saksikan sehari-hari. Fenomena itu adalah bahwa semua makhluk Allah yang masih hidup akan selalu bergerak dan berubah. Jika berhenti bergerak dan tidak mau berubah, maka berarti makhluk itu telah mati. Secara sederhana, kita bisa mengamati perbedaan antara daun yang berserakan di pinggir jalan dengan daun yang masih kokoh menempel di dahan. Daun yang masih menempel di dahan, ia akan bisa bergerak mengikuti arah dan tekanan angin, ia bergerak sesuai irama angin, dan karena itu, ia masih sangat kuat menempel di dahannya. Tetapi, daun yang berserakan di pinggir jalan, tidak akan mampu mengikuti irama angin. Ia akan diterbangkan angin, hingga masuk ke tempat sampah atau masuk comberan. Itulah daun yang telah mati.
Demikian jug a manusia yang tidak mampu bergerak dan melakukan perubahan dalam hidupnya, pada hakikatnya ia telah mati. walaupun nafasnya masih berhembus. Bagaikan robot-robot yang bernyawa, manusia seperti ini hanya akan bergerak jika ada yang menggerakkan. Ia hanya akan bergerak mengikuti keinginan sang pembuat.
Salah satu karakter mu’min sejati, dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Dan mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah; dan yang member perlindungan dan bantuan, mereka itulah orang yang beriman yang sebenarnya. Mereka diberi ampunan dan rejeki yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal:74)
Ayat di atas memberikan gambaran bahwa orang beriman itu adalah orang yang mau bergerak dan melakukan perubahan (Hijrah, Jihad ). Hijrah adalah berpindah dari suatu kondisi yang tidak baik menuju kondisi yang lebih baik. Sedangkan jihad adalah bersunguh-sungguh melakukan suatu aktivitas amal shaleh yang berkualitas. Inilah etos kerja seorang mu’min sejati. Tidak pernah berhenti pada suatu keadaan, melainkan terusa bergerak dan berubah menuju ke arah yang lebih baik hingga ajal menjemputnya.
Rasulullah SAW, manusia terbaik sepanjang masa, mencontohkan bagaimana beliau tidak pernah lelah bergerak demi suatu perubahan yang lebih baik. Perhatikanlah bagaimana Tarikh mengisahkan kepada kita tentang etos kerja Rasulullah SAW dalam menjalankan perang Khandaq, perang yang sangat melalahkan dan menguras energi kaum muslimin.
Abu Waqid Al-Laitsi bercerita, “Pada hari itu, kaum muslimin berjumlah tiga ribu orang. Aku melihat Rasulullah saw. sekali-kali menggali tanah dengan menggunakan cangkul, ikut menggali tanah dengan menggunakan sekop, serta ikut memikul keranjang yang diisi tanah. Suatu siang, sungguh aku melihat beliau dalam keadaan sangat lelah. Beliau lalu duduk dan menyandarkan bagian rusuk kirinya pada sebuah batu, kemudian tertidur. Aku melihat Abu Bakar dan Umar berdiri di belakang kepalanya menghadap orang-orang yang lewat agar mereka tidak mengganggu beliau yang sedang tidur. Pada waktu itu aku dekat pada beliau. Beliau kaget dan bangun terperanjat dari tidurnya, lalu berkata, ‘Mengapa kalian tidak membangunkan aku?’ Kemudian beliau mengambil kapak yang akan beliau gunakan untuk mencangkul, lalu beliau berdoa, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat. Maka, muliakanlah kaum Anshar dan wanita yang hijrah.’”
Aisyah berkata, “Rasulullah saw. selalu pergi menjaga lubang di Khandaq sehingga apabila beliau kedinginan, beliau datang kepadaku. Lalu aku hangatkan dalam pelukanku. Apabila beliau telah hangat, beliau keluar lagi menjaga lubang itu. Beliau berkata, ‘Aku tidak khawatir terhadap kedatangan orang-orang (musuh), tetapi aku khawatir mereka datang sementara aku tidak berada di lubang itu.’ Setelah Rasulullah saw. berada dalam pelukanku dan telah hangat, beliua berkata, ‘Andainya ada orang yang saleh menjagaku.’” Aisyah berkata, “Hingga aku mendengar suara senjata dan bunyi gesekan pedang.” Lalu Rasulullah saw. berkata, “Siapa itu?” “Sa’ad bin Abi Waqqash.” Beliau berkata, “Jagalah lubang itu.” Aisyah berkata, “Rasulullah saw. lalu tertidur hingga aku mendengar dengkurannya.”

Hari demi hari berlalu. Pengepungan masih berlanjut. Angin dingin bertiup kencang. Medan perang semakin berat. Apalagi untuk pria paruh baya seperti Rasulullah saw. Dalam usia 57 tahun, tubuh Rasulullah saw. harus selalu siap siaga berjaga dan siap berperang setiap waktu. Beliau selalu bergerak cepat dari satu titik pertahanan ke titik pertahanan lain yang mendapat gempuran musuh. Serangan itu terjadi kapan pun tak kenal waktu. Siang dan malam. Rasulullah saw. hampir-hampir tidak bisa tidur selama peperangan berkecamuk. Rasulullah saw. adalah manusia biasa. Tubuhnya lelah. Kelelahan yang tiada tara. Tidak ada waktu istirahat untuk Rasulullah saw. Tidak ada.(sumber:http://www.dakwatuna.com)
Bagitulah, Rasululah SAW yang sudah dijamin masuk surga, tetap bekerja keras, bergerak, dan berupaya mempertahankan kejayaan umat Islam. Sementara kita, yang sangat belum tentu masuk surga, masih sering berleha-leha, bersantai, bekerja sangat lamban, seolah surga sudah di depan mata kita.
Maka, bergerak dan melakukan perubahan dari kualitas yang jelek menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik, dari yang lebih baik menjadi istimewa, dan seterusnya, adalah menjadi kewajiban kita sebagai seorang mu’min sejati. Jika Allah telah memberikan potensi bagi manusia untuk menjadi orang yang luar biasa, kenapa kita cukup berpuas diri menjadi orang yang biasa-biasa saja? Jika Rasulullah saja masih mau berpeluh keringat, berhijrah, berjihad, dan berperang melawan orang-orang musyrik, maka mengapakah kita selalu mengeluh ketika menghadapi sedikit musibah atau kesulitan? Atau mengapa kita merasa cukup puas dengan amal yang alakadarnya? Padahal kita bisa menambah jauh lebih banyak dari itu.